Transformasi Pertanian Orde Baru Dari Pengimpor Beras Menjadi Negara Swasembada Pangan
Awal pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto menandai era baru pembangunan nasional yang dilaksanakan secara besar-besaran di berbagai bidang. Langkah ini tidak dapat dipisahkan dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada akhir pemerintahan Orde Lama, yang ditandai oleh inflasi yang tinggi dan kenaikan harga kebutuhan pokok. Pemerintah Orde Baru, dengan kesadaran penuh akan pentingnya stabilitas pangan, memfokuskan upayanya pada sektor pertanian, terutama untuk meningkatkan produksi beras yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Pada masa itu, Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Pada tahun 1969, produksi beras nasional hanya mencapai sekitar 12 juta ton. Untuk mengatasi ketergantungan terhadap impor dan mencapai swasembada pangan, pemerintah Orde Baru mengadopsi berbagai strategi peningkatan produksi pertanian. Salah satu pendekatan utamanya adalah melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, yang bertujuan untuk meningkatkan hasil panen di lahan pertanian yang sudah ada serta memperluas lahan garapan.
Program Bimbingan Masal (BIMAS) menjadi salah satu instrumen penting dalam upaya peningkatan produksi beras nasional. Melalui program ini, pemerintah memberikan dukungan teknis dan material kepada para petani, termasuk bantuan pupuk, pestisida, serta pelatihan terkait metode pertanian yang lebih efektif. Program BIMAS kemudian dikembangkan menjadi BIMAS Gotong Royong, yang melibatkan peran swasta nasional dan asing untuk mendukung peningkatan produksi beras. Program ini dirancang untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta, dengan tujuan memberikan akses yang lebih luas bagi petani terhadap input pertanian yang dibutuhkan.
Pada tahun 1969, melalui Keputusan Presiden No. 95, program BIMAS Gotong Royong disempurnakan menjadi BIMAS Nasional. Program ini mencakup dua bentuk intensifikasi pertanian, yaitu Intensifikasi Masal (INMAS) dan Intensifikasi Khusus (INSUS). Selain intensifikasi, pemerintah juga mendorong diversifikasi pertanian, yang memadukan teknologi modern dengan praktik pertanian tradisional guna meningkatkan efisiensi dan hasil produksi.
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Soeharto dalam sektor pertanian akhirnya membuahkan hasil yang signifikan. Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan, yang menandakan kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan beras secara mandiri tanpa harus mengimpor dalam jumlah besar. Prestasi ini tidak hanya mengangkat nama Indonesia di kancah internasional, tetapi juga menempatkan negara ini sebagai contoh keberhasilan dalam pembangunan sektor pangan di dunia. Pada tahun 1985, Presiden Soeharto diundang oleh Direktur Jenderal Food and Agriculture Organization (FAO), Edward Saouma, untuk berbicara di Forum Dunia FAO di Roma, Italia. Dalam forum tersebut, Soeharto memaparkan keberhasilan Indonesia dalam mencapai swasembada pangan, yang ia sebut sebagai "hasil dari kerja raksasa suatu bangsa."
Pada kesempatan yang sama, sebagai bentuk solidaritas internasional, Presiden Soeharto atas nama rakyat Indonesia menyerahkan bantuan 100.000 ton beras kepada korban kelaparan di sejumlah negara Afrika. Bantuan ini menegaskan bahwa negara-negara berkembang pun mampu membantu sesama, serta menunjukkan komitmen Indonesia dalam berbagi hasil pembangunan dengan dunia. Bantuan ini juga menjadi simbol pencapaian petani Indonesia, yang tidak hanya berhasil memenuhi kebutuhan nasional, tetapi juga turut berkontribusi pada solusi permasalahan pangan global.
Melalui kebijakan dan program-program yang visioner di bidang pertanian, pemerintahan Orde Baru berhasil membawa Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar menjadi salah satu negara yang mampu swasembada pangan dan bahkan berperan aktif dalam membantu negara-negara lain yang membutuhkan.