Tak Kenal Maka tak Sayang
Pak Harto lahir di desa Kemusuk, Agromulyo, Yogyakarta, pada tanggal 8 Juni 1921, dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah. Latar belakangnya adalah dari keluarga petani yang tergolong miskin, dan kedua orang tuanya bercerai ketika ia masih kecil. Akibat situasi tersebut, ia dititipkan kepada bulik dan pamannya, Prawirodihardjo, seorang pegawai mantri tani di kawedanan. Dalam asuhan pamannya, Pak Harto tumbuh bersama saudara-saudaranya dan belajar nilai-nilai kehidupan yang akan membentuk karakternya di masa depan.
Selama masa kecilnya, Pak Harto tidak berbeda jauh dari anak-anak seusianya. Ia senang bermain di sawah, menangkap belut, dan tidak melewatkan kesempatan untuk memanggang hasil tangkapannya sendiri. Meskipun ia tidak seberuntung anak-anak lain yang tinggal bersama orang tua mereka, pengalaman hidup yang keras di masa kecilnya mengajarkan Pak Harto untuk mandiri dan siap menghadapi tantangan. Tata krama yang ditanamkan oleh keluarga Prawirodihardjo melekat erat dalam dirinya, membentuk karakter Pak Harto yang tidak hanya mandiri tetapi juga memiliki budi pekerti yang tinggi.
Pendidikan umum yang ditempuh Pak Harto dimulai di Sekolah Dasar (Ongko Loro) di Kemusuk pada tahun 1929–1931, dilanjutkan ke Sekolah Rakyat di Wuryantoro (1931–1935), SMP di Yogyakarta (1935-1939), dan SMA (C) di Semarang pada tahun 1956. Setelah menyelesaikan pendidikan, perjalanan karir Pak Harto dimulai dari lapisan paling bawah. Di masa mudanya, ia bekerja sebagai pembantu klerk di bank desa di Wuryantoro.
Karir militernya dimulai pada masa penjajahan Belanda ketika ia memasuki Sekolah Dasar Militer dan Sekolah Kader Kopral pada tahun 1940. Ia terus meniti karir di dunia militer dan berhasil meraih berbagai jabatan, termasuk Komandan Kompi, Komandan Batalion A, dan Komandan Brigade Paragola. Keberhasilan dan prestasi Pak Harto terus meningkat hingga ia menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pada tanggal 1 Juli 1966.
Puncak karirnya dicapai setelah ia berhasil menangani pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965. Keberhasilan ini membuat nama Pak Harto semakin bersinar di mata masyarakat Indonesia, menjadikannya sosok yang gagah berani dan layak memimpin negara. Melalui perjalanan panjang yang dilalui dengan kesabaran dan kebijaksanaan, ia resmi diangkat sebagai Presiden Indonesia pada 12 Maret 1967.
Pak Harto menikah dengan Siti Hartinah, yang lebih dikenal dengan nama Ibu Tien, pada tanggal 26 Desember 1947, di Solo. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai tiga orang putra dan tiga orang putri.
Sebagai seorang pemimpin, Pak Harto memiliki falsafah hidup yang tinggi. Selain menjunjung tata krama Jawa yang kental, falsafahnya juga sangat berakar dalam budaya Jawa. Ia menganut prinsip "Ilmu Padi," yang menggambarkan sikap rendah hati meskipun memiliki ilmu dan prestasi tinggi. Selain itu, "Ilmu Teladan" dan "Ngewongke" menjadi landasan sikap hidupnya, sehingga ia selalu tampil karismatik dan berwibawa. Meski merupakan pemimpin yang paling senior dan lama menjabat, ketika berbicara, ia selalu merendah tanpa mengesampingkan kepercayaan diri.
Menariknya, meskipun dikenal sebagai tokoh yang berpengaruh, banyak orang yang tidak tahu bahwa Pak Harto adalah sosok yang sangat sederhana. Ia tidak suka berlebihan dan menghindari kesan glamor. Hal ini dibuktikan oleh pengakuan ajudannya yang mengatakan bahwa dalam kesehariannya, Pak Harto sering mengenakan sarung kotak-kotak berwarna putih yang sudah banyak aus dan kaos polos yang warnanya memudar. Gaya hidup sederhana ini juga ditunjang oleh disiplin yang tinggi; Pak Harto biasa bangun pukul 04.30 pagi, melaksanakan sholat subuh, dan segera mengerjakan pekerjaan yang belum selesai, terutama surat-surat yang perlu diselesaikan di ruangan kerja kecilnya.
Ketulusan dan kesederhanaan Pak Harto ini mencerminkan nilai-nilai yang telah ia pelajari sejak kecil, menjadikannya pemimpin yang tidak hanya diakui secara formal tetapi juga dihormati oleh masyarakatnya. Dedikasinya terhadap negara dan rakyatnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia.