Widget HTML #1

Jadi Soehartois, Kenapa Takut?


Pada tanggal 21 Mei, ketika Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan presiden, peristiwa tersebut menjadi momen yang disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia melalui siaran langsung di berbagai stasiun televisi. Keputusan untuk mundur itu mengakhiri 32 tahun kekuasaannya, yang selama ini dikenal dengan rezim Orde Baru. Saat pengumuman tersebut, suasana di luar Gedung DPR/MPR diwarnai sorak sorai para mahasiswa yang tengah melakukan aksi unjuk rasa. Sorotan kamera televisi memperlihatkan antusiasme para demonstran yang menyambut kepergian Soeharto dengan semangat, bahkan menggambarkan simbolis "lengser keprabon" melalui aksi penyeretan patung Soeharto lengkap dengan peci hitam dan baju batiknya di jalan menuju pintu gedung DPR.

Peristiwa ini menandai perubahan besar dalam sejarah politik Indonesia. Apa yang dulu merupakan simbol kekuasaan mutlak, kini menjadi lambang perubahan di tangan rakyat. Iringan mobil mewah yang biasa menyertai Soeharto ketika mengunjungi gedung parlemen dengan pengawalan ketat dan sambutan penuh penghormatan, berubah drastis menjadi aksi protes yang keras. Namun, di balik sorotan media yang lebih banyak menampilkan euforia mahasiswa dan aktivis, ada sisi lain dari masyarakat yang tidak disiarkan secara meluas. Beberapa ibu yang menyaksikan kejadian tersebut tidak bisa menahan air mata. Mereka merasa iba, menyayangkan nasib seorang presiden yang pernah begitu berjasa bagi pembangunan Indonesia, tetapi harus turun tahta dalam keadaan yang menurut mereka kurang terhormat.

Keadaan ini mencerminkan paradoks dalam persepsi masyarakat terhadap Soeharto. Di satu sisi, ia adalah pemimpin yang dikritik keras karena praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai pelanggaran HAM selama masa pemerintahannya. Di sisi lain, ia adalah figur yang dihormati oleh sebagian masyarakat karena jasanya dalam membangun stabilitas politik dan ekonomi Indonesia selama beberapa dekade. Sentimen ini terlihat dari banyaknya lapisan masyarakat yang secara emosional masih berpihak kepadanya, baik dalam bentuk empati maupun simpati.

Tanggapan emosional dari sebagian masyarakat yang masih setia terhadap Soeharto membuka ruang bagi munculnya fenomena yang dikenal sebagai "Soehartoisme." Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai kecenderungan masyarakat untuk melihat kembali kepemimpinan Soeharto secara lebih positif di kemudian hari, seiring berjalannya waktu dan semakin jauhnya jarak emosional dengan peristiwa-peristiwa represif di era Orde Baru. Dalam sejarah Indonesia, fenomena seperti ini bukan hal yang asing. Mitos-mitos tentang kepemimpinan masa lalu sering kali muncul ketika masyarakat mulai merasakan kekecewaan terhadap situasi politik dan ekonomi saat ini. Hal yang serupa pernah terjadi pada masa pasca-pemerintahan Soekarno, di mana sebagian masyarakat mulai meromantisasi masa-masa awal kemerdekaan yang dipimpin oleh presiden pertama Indonesia.

Munculnya "Soehartoisme" juga bisa dipahami dalam konteks nostalgia politik. Banyak orang yang merasa bahwa meskipun terdapat masalah besar seperti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang menodai pemerintahan Soeharto, ada beberapa pencapaian penting yang patut dikenang. Sebagai contoh, selama Orde Baru, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, pembangunan infrastruktur yang signifikan, serta stabilitas politik yang relatif terjaga dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal ini menyebabkan beberapa kalangan mengingat masa itu sebagai era yang lebih stabil, terutama dibandingkan dengan situasi yang mereka rasakan setelah reformasi.

Namun, penting untuk dicatat bahwa munculnya mitos atau nostalgia terhadap figur kepemimpinan seperti Soeharto bukan berarti masyarakat secara kolektif melupakan berbagai kesalahan yang terjadi selama masa pemerintahannya. Reformasi yang terjadi setelah kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 merupakan respons terhadap berbagai tindakan represif dan otoriter yang dilakukan selama pemerintahannya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, narasi tentang Soeharto cenderung lebih seimbang; baik jasanya maupun kesalahannya sama-sama diakui oleh masyarakat.

Dalam konteks ilmiah, fenomena ini juga sejalan dengan teori ingatan kolektif (collective memory), di mana kelompok-kelompok dalam masyarakat menyusun kembali ingatan tentang masa lalu mereka sesuai dengan kebutuhan dan situasi saat ini. Seperti yang dinyatakan oleh Maurice Halbwachs, seorang sosiolog Prancis, ingatan kolektif bukanlah sesuatu yang tetap atau statis, melainkan dibentuk dan dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, dan budaya. Dalam hal ini, ingatan tentang Soeharto dan pemerintahannya juga akan terus berubah seiring dengan perubahan dinamika politik dan sosial di Indonesia.

Keputusan untuk menghentikan tindakan represif terhadap pengikut Soeharto setelah kejatuhannya juga mencerminkan perubahan dalam norma-norma politik di Indonesia. Setelah reformasi, kebebasan berpendapat dan berkumpul mulai dijamin oleh konstitusi, dan tindakan represif semakin tidak populer. Masyarakat tidak lagi takut untuk mengakui pandangan mereka terhadap Soeharto, baik yang mendukung maupun yang mengkritik, karena lingkungan politik yang lebih terbuka.

Oleh karena itu, meskipun Soeharto tidak lagi menjadi presiden dan meskipun masa pemerintahannya penuh dengan kontroversi, ingatan kolektif tentang dirinya tidak akan pernah sepenuhnya hilang. Sejarah kepemimpinannya, baik sisi positif maupun negatif, akan terus menjadi bagian dari diskursus politik dan sosial di Indonesia. Dan bagi sebagian orang yang masih merasa terhubung dengan kepemimpinannya, Soehartoisme mungkin akan terus hidup, meskipun dalam bentuk yang berbeda dari masa ketika ia berkuasa.

Di masa depan, ketika masyarakat Indonesia merefleksikan kembali masa-masa Orde Baru, mitos tentang Soeharto akan terus dibentuk dan dibingkai oleh perspektif dan pengalaman mereka terhadap dinamika politik dan sosial di negara ini. Pada akhirnya, Soeharto akan tetap menjadi figur penting dalam sejarah Indonesia, dan warisannya akan terus menjadi bahan diskusi dan kajian bagi generasi yang akan datang.

 Sehingga tak perlu ada rasa takut, termasuk takut mengaku jadi pengikut Pak Harto bukan?